Kebun sawit yang merupakan tulang punggung ekonomi banyak negara, ternyata menyimpan dilema lingkungan yang serius. Di satu sisi, tanaman ini memiliki potensi menyerap karbon dioksida dan berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim. Namun, di sisi lain, ekspansi perkebunan sawit yang agresif, termasuk rencana perluasan yang diusulkan oleh Presiden Prabowo, justru mengancam upaya pelestarian lingkungan dengan meningkatkan emisi gas rumah kaca. Artikel ini akan membahas terkait dampak perkebunan sawit dalam penyerapan CO2 yang tidak seimbang dengan jumlah emisi yang dihasilkan.

Rencana Perluasan Sawit Ancam Kualitas Udara
Rencana pemerintah untuk memperluas perkebunan kelapa sawit dengan merambah hutan telah menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo. Menurut Surambo, alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit, terutama di lahan gambut dan hutan mineral, justru akan meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK) secara signifikan.
Dalam keterangan tertulisnya, Surambo mengutip data yang menunjukkan bahwa meskipun tanaman sawit memiliki kemampuan menyerap karbon, namun emisi yang dihasilkan dari alih fungsi lahan jauh lebih besar. Sebagai contoh, konversi lahan gambut menjadi perkebunan sawit dapat menghasilkan emisi karbon hingga 1.835 ton CO2-eq, jauh melebihi kemampuan penyerapan tanaman sawit.
“Alih fungsi lahan gambut memiliki dampak terburuk, dengan emisi karbon yang sangat tinggi hingga 1.835 ton CO2-eq. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun tanaman sawit memiliki potensi dalam penyerapan karbon, kontribusi ini tidak cukup untuk menutupi emisi yang dihasilkan, khususnya dari alih fungsi lahan,โ ujar Surambo seperti dikutip dari Katadata Green.
Baca Juga: Carbon Offset: Upaya Berkelanjutan Kurangi Emisi Karbon
Emisi yang Dihasilkan oleh Kebun Sawit
Selain dari pembukaan lahan, kebun sawit juga menjadi sumber emisi gas rumah kaca lainnya. Beberapa penyebab utamanya adalah:
1. Pembukaan Lahan
Proses deforestasi untuk perkebunan sawit sering melibatkan pembakaran lahan, terutama di wilayah Asia Tenggara seperti Indonesia dan Malaysia. Pembakaran ini menghasilkan emisi CO2, metana (CH4), dan nitrogen oksida (N2O) yang berkontribusi signifikan terhadap pemanasan global.
2. Penggunaan Pupuk Kimia
Perkebunan sawit membutuhkan pupuk kimia dalam jumlah besar untuk meningkatkan produktivitas. Penggunaan pupuk nitrogen menghasilkan emisi N2O, gas rumah kaca yang memiliki potensi pemanasan global 298 kali lebih besar daripada CO2.
3. Limbah Produksi
Proses pengolahan minyak sawit menghasilkan limbah cair yang disebut POME (Palm Oil Mill Effluent). Limbah ini mengeluarkan metana jika tidak dikelola dengan baik. Pengelolaan limbah yang tidak efisien memperparah kontribusi emisi gas rumah kaca dari industri kelapa sawit.
Ketimpangan antara Penyerapan dan Emisi
Ketidakseimbangan antara penyerapan karbon oleh kebun sawit dan emisi yang dihasilkannya menjadi masalah utama dalam keberlanjutan perkebunan sawit. Menurut data dari beberapa penelitian, emisi dari pembukaan lahan saja dapat melepaskan karbon yang tersimpan dalam tanah selama ratusan tahun. Dibutuhkan waktu puluhan tahun bagi kebun sawit untuk menyerap kembali karbon yang dilepaskan selama proses pembukaan lahan tersebut.
Selain itu, kebun sawit memiliki siklus hidup yang relatif pendek, yaitu sekitar 25-30 tahun. Setelah siklus ini selesai, lahan sering kali mengalami degradasi dan kehilangan kemampuan menyimpan karbon, kecuali jika dilakukan rehabilitasi yang memadai.

Baca Juga: Kenapa Pengelolaan Emisi Karbon Penting bagi Lingkungan
Solusi untuk Mengurangi Dampak Kebun Sawit
Untuk mengurangi dampak negatif kebun sawit terhadap lingkungan, diperlukan pendekatan yang lebih berkelanjutan. Beberapa solusi yang dapat diterapkan meliputi:
1. Penerapan Prinsip Perkebunan Berkelanjutan
Sertifikasi seperti RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) dapat menjadi acuan bagi perusahaan untuk mengelola kebun sawit secara ramah lingkungan. Sertifikasi ini mendorong praktik tanpa deforestasi, pengelolaan limbah yang baik, serta perlindungan keanekaragaman hayati.
2. Restorasi Lahan Gambut
Lahan gambut yang telah rusak akibat perkebunan sawit perlu direstorasi untuk mengembalikan fungsi ekosistemnya. Restorasi ini melibatkan rehidrasi lahan gambut dan penanaman kembali vegetasi asli.
3. Pemanfaatan Teknologi Pengelolaan Limbah
Teknologi seperti penangkapan metana dari POME dapat digunakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Metana yang ditangkap dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan.
4. Diversifikasi Komoditas
Mengurangi ketergantungan terhadap minyak sawit sebagai satu-satunya komoditas dapat membantu mengurangi tekanan terhadap lahan. Diversifikasi komoditas memungkinkan penggunaan lahan yang lebih efisien dan ramah lingkungan.
Baca Juga: Carbon Capture and Storage: Dampaknya pada Industri Migas dan Energi Terbarukan
Bersama ImpactLabs, Wujudkan Masa Depan Berkelanjutan untuk Bisnis Anda!
Kami di ImpactLabs siap membantu perusahaan Anda menghadapi tantangan perubahan iklim dengan solusi keberlanjutan yang terintegrasi. Dengan layanan sustainability consulting kami, Anda dapat mengidentifikasi peluang strategis untuk pengurangan emisi karbon, optimalisasi rantai pasok, dan pengelolaan sumber daya secara efisien.
Jangan tunda langkah Anda menuju bisnis yang lebih hijau dan bertanggung jawab. Kunjungi ImpactLabs sekarang juga dan jadilah bagian dari perubahan global menuju keberlanjutan! ๐ฑ
Hubungi kami hari ini untuk konsultasi gratis.
Kesimpulan
Kebun sawit memang memiliki manfaat ekonomi yang besar, namun dampak lingkungan yang dihasilkannya tidak dapat diabaikan. Ketidakseimbangan antara penyerapan CO2 oleh kebun sawit dan emisi yang dihasilkannya menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih berkelanjutan dalam pengelolaan perkebunan ini. Dengan menerapkan praktik-praktik berkelanjutan dan inovasi teknologi, dampak negatif kebun sawit terhadap lingkungan dapat diminimalkan. Sebagaimana dikutip dari Katadata Green (2025), “Pemerintah harus mempertimbangkan secara matang rencana untuk memperluas perkebunan kelapa sawit. Pasalnya, ekstensifikasi hanya akan berdampak pada deforestasi yang lebih besar dan risiko yang lebih tinggi.”